Selasa, 30 November 2010

penderitaan seorang penderita HIV AIDS

LUCKY N. HIDAYAT, Sidoarjo

POSTURNYA tinggi besar bak seorang atlet. Wajahnya juga tergolong ganteng dengan usia yang masih muda, 27 tahun. Itulah Sanny (bukan nama sebenarnya). Sesekali pria yang kini mengabdikan diri sebagai relawan bagi penderita HIV itu terbatuk-batuk. Tapi, dia merasa tetap sehat. Kepada Jawa Pos, Sanny mengaku terus terang dirinya memang salah seorang penderita HIV. Dia tahu "vonis" itu setahun lalu. Selama beberapa bulan, Sanny pun limbung. Depresi dan frustrasi mewarnai hari-harinya. Virus menular itu masuk ke dalam tubuhnya saat masih bekerja di Bali. Dalam hati, Sanny selalu bertanya-tanya, kapan dirinya akan mati. "Saya merasa rendah diri dan takut jika masyarakat tahu, lalu saya dikucilkan," kata Sanny.

Berbulan-bulan ketakutan dan kepasrahan menghantui psikologisnya. Menyandang status orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ibarat memikul balok besi seberat jutaan ton di atas tubuh yang lelah. Sanny merasa semangatnya mulai tumbuh saat dirinya bertemu relawan-relawan dari Sidoarjo Care, LSM peduli HIV/AIDS.

"Saya merasa punya teman. Ternyata, masih ada yang peduli," tutur Sanny. Perkenalan itu mulai menyemaikan harapan hidupnya untuk hidup lebih lama. Seiring waktu, Sanny pun menstabilkan kondisi psikologisnya yang sempat lungkrah. Kata dia, kebanyakan ODHA memang tidak siap ketika kali pertama diberi tahu bahwa dirinya positif HIV/AIDS.

"Karena itulah, saya memutuskan bergabung dengan Sidoarjo Care untuk membantu temanteman ODHA," tambah Sanny. Menurut pria asli Sidoarjo itu, LSM yang menaunginya beranggota 12 orang. Beberapa di antaranya juga berstatus positif HIV. Banyak yang murni aktivis, antara lain dari kalangan waria, mantan pengguna narkoba, dan pekerja seks. Mereka memilih mengabdikan diri sebagai pekerja sosial.

Selama bergabung dengan Sidoarjo Care, Sanny mengaku telah mendekati sedikitnya tujuh ODHA. Tiga orang merespons dengan baik. Empat orang belum bisa menerima.

Data penderita HIV/AIDS itu dia dapat dengan berbagai cara. Mereka lantas ditelepon dan diajak bertemu. Setelah itu, ditentukanlah tempat bagi mereka untuk bertemu. Menurut Sanny, ODHA biasanya tidak mau bertemu langsung di rumah atau tempat tinggal sehari-harinya. Mereka takut kedatangan relawan sehingga membuat orang sekitar rumah curiga akan statusnya.

Saat bertemu, Sanny juga tidak membahas penyakit yang diidap ODHA. Dia cenderung mengajak bicara perihal kondisi badan dan cara menjaganya. Sanny mencontohkan dirinya sendiri yang tetap sehat, gemuk, dan bersemangat walaupun sudah dinyatakan positif. Kebanyakan orang yang baru tahu bahwa dirinya positif tidak tahu ke mana harus mendapatkan pengobatan. "Saya minta agar dia mengurus kelengkapan administrasi kependudukan dulu," terang Sanny.

Pengalaman paling mengesankan baginya adalah saat berusaha mendekati dan berkomunikasi dengan salah seorang ODHA. Setelah beberapa minggu berusaha, upayanya membuahkan hasil. ODHA itu mau bertemu di rumah. "Tapi, ketika kami datang, keluarganya memberi tahu bahwa hari itu adalah selamatan dua hari. Sebab, dia meninggal," katanya. (*)

Sumber:http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_radar&id=166776&c=90

penderitaan seorang penderita HIV AIDS

LUCKY N. HIDAYAT, Sidoarjo

POSTURNYA tinggi besar bak seorang atlet. Wajahnya juga tergolong ganteng dengan usia yang masih muda, 27 tahun. Itulah Sanny (bukan nama sebenarnya). Sesekali pria yang kini mengabdikan diri sebagai relawan bagi penderita HIV itu terbatuk-batuk. Tapi, dia merasa tetap sehat. Kepada Jawa Pos, Sanny mengaku terus terang dirinya memang salah seorang penderita HIV. Dia tahu "vonis" itu setahun lalu. Selama beberapa bulan, Sanny pun limbung. Depresi dan frustrasi mewarnai hari-harinya. Virus menular itu masuk ke dalam tubuhnya saat masih bekerja di Bali. Dalam hati, Sanny selalu bertanya-tanya, kapan dirinya akan mati. "Saya merasa rendah diri dan takut jika masyarakat tahu, lalu saya dikucilkan," kata Sanny.

Berbulan-bulan ketakutan dan kepasrahan menghantui psikologisnya. Menyandang status orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ibarat memikul balok besi seberat jutaan ton di atas tubuh yang lelah. Sanny merasa semangatnya mulai tumbuh saat dirinya bertemu relawan-relawan dari Sidoarjo Care, LSM peduli HIV/AIDS.

"Saya merasa punya teman. Ternyata, masih ada yang peduli," tutur Sanny. Perkenalan itu mulai menyemaikan harapan hidupnya untuk hidup lebih lama. Seiring waktu, Sanny pun menstabilkan kondisi psikologisnya yang sempat lungkrah. Kata dia, kebanyakan ODHA memang tidak siap ketika kali pertama diberi tahu bahwa dirinya positif HIV/AIDS.

"Karena itulah, saya memutuskan bergabung dengan Sidoarjo Care untuk membantu temanteman ODHA," tambah Sanny. Menurut pria asli Sidoarjo itu, LSM yang menaunginya beranggota 12 orang. Beberapa di antaranya juga berstatus positif HIV. Banyak yang murni aktivis, antara lain dari kalangan waria, mantan pengguna narkoba, dan pekerja seks. Mereka memilih mengabdikan diri sebagai pekerja sosial.

Selama bergabung dengan Sidoarjo Care, Sanny mengaku telah mendekati sedikitnya tujuh ODHA. Tiga orang merespons dengan baik. Empat orang belum bisa menerima.

Data penderita HIV/AIDS itu dia dapat dengan berbagai cara. Mereka lantas ditelepon dan diajak bertemu. Setelah itu, ditentukanlah tempat bagi mereka untuk bertemu. Menurut Sanny, ODHA biasanya tidak mau bertemu langsung di rumah atau tempat tinggal sehari-harinya. Mereka takut kedatangan relawan sehingga membuat orang sekitar rumah curiga akan statusnya.

Saat bertemu, Sanny juga tidak membahas penyakit yang diidap ODHA. Dia cenderung mengajak bicara perihal kondisi badan dan cara menjaganya. Sanny mencontohkan dirinya sendiri yang tetap sehat, gemuk, dan bersemangat walaupun sudah dinyatakan positif. Kebanyakan orang yang baru tahu bahwa dirinya positif tidak tahu ke mana harus mendapatkan pengobatan. "Saya minta agar dia mengurus kelengkapan administrasi kependudukan dulu," terang Sanny.

Pengalaman paling mengesankan baginya adalah saat berusaha mendekati dan berkomunikasi dengan salah seorang ODHA. Setelah beberapa minggu berusaha, upayanya membuahkan hasil. ODHA itu mau bertemu di rumah. "Tapi, ketika kami datang, keluarganya memberi tahu bahwa hari itu adalah selamatan dua hari. Sebab, dia meninggal," katanya. (*)

Sumber:http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_radar&id=166776&c=90

penderitaan seorang penderita HIV AIDS

LUCKY N. HIDAYAT, Sidoarjo

POSTURNYA tinggi besar bak seorang atlet. Wajahnya juga tergolong ganteng dengan usia yang masih muda, 27 tahun. Itulah Sanny (bukan nama sebenarnya). Sesekali pria yang kini mengabdikan diri sebagai relawan bagi penderita HIV itu terbatuk-batuk. Tapi, dia merasa tetap sehat. Kepada Jawa Pos, Sanny mengaku terus terang dirinya memang salah seorang penderita HIV. Dia tahu "vonis" itu setahun lalu. Selama beberapa bulan, Sanny pun limbung. Depresi dan frustrasi mewarnai hari-harinya. Virus menular itu masuk ke dalam tubuhnya saat masih bekerja di Bali. Dalam hati, Sanny selalu bertanya-tanya, kapan dirinya akan mati. "Saya merasa rendah diri dan takut jika masyarakat tahu, lalu saya dikucilkan," kata Sanny.

Berbulan-bulan ketakutan dan kepasrahan menghantui psikologisnya. Menyandang status orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ibarat memikul balok besi seberat jutaan ton di atas tubuh yang lelah. Sanny merasa semangatnya mulai tumbuh saat dirinya bertemu relawan-relawan dari Sidoarjo Care, LSM peduli HIV/AIDS.

"Saya merasa punya teman. Ternyata, masih ada yang peduli," tutur Sanny. Perkenalan itu mulai menyemaikan harapan hidupnya untuk hidup lebih lama. Seiring waktu, Sanny pun menstabilkan kondisi psikologisnya yang sempat lungkrah. Kata dia, kebanyakan ODHA memang tidak siap ketika kali pertama diberi tahu bahwa dirinya positif HIV/AIDS.

"Karena itulah, saya memutuskan bergabung dengan Sidoarjo Care untuk membantu temanteman ODHA," tambah Sanny. Menurut pria asli Sidoarjo itu, LSM yang menaunginya beranggota 12 orang. Beberapa di antaranya juga berstatus positif HIV. Banyak yang murni aktivis, antara lain dari kalangan waria, mantan pengguna narkoba, dan pekerja seks. Mereka memilih mengabdikan diri sebagai pekerja sosial.

Selama bergabung dengan Sidoarjo Care, Sanny mengaku telah mendekati sedikitnya tujuh ODHA. Tiga orang merespons dengan baik. Empat orang belum bisa menerima.

Data penderita HIV/AIDS itu dia dapat dengan berbagai cara. Mereka lantas ditelepon dan diajak bertemu. Setelah itu, ditentukanlah tempat bagi mereka untuk bertemu. Menurut Sanny, ODHA biasanya tidak mau bertemu langsung di rumah atau tempat tinggal sehari-harinya. Mereka takut kedatangan relawan sehingga membuat orang sekitar rumah curiga akan statusnya.

Saat bertemu, Sanny juga tidak membahas penyakit yang diidap ODHA. Dia cenderung mengajak bicara perihal kondisi badan dan cara menjaganya. Sanny mencontohkan dirinya sendiri yang tetap sehat, gemuk, dan bersemangat walaupun sudah dinyatakan positif. Kebanyakan orang yang baru tahu bahwa dirinya positif tidak tahu ke mana harus mendapatkan pengobatan. "Saya minta agar dia mengurus kelengkapan administrasi kependudukan dulu," terang Sanny.

Pengalaman paling mengesankan baginya adalah saat berusaha mendekati dan berkomunikasi dengan salah seorang ODHA. Setelah beberapa minggu berusaha, upayanya membuahkan hasil. ODHA itu mau bertemu di rumah. "Tapi, ketika kami datang, keluarganya memberi tahu bahwa hari itu adalah selamatan dua hari. Sebab, dia meninggal," katanya. (*)

Sumber:http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_radar&id=166776&c=90