Rabu, 29 September 2010
Upacara Horja Bius Adat Budaya Batak Toba yang Telah Hilang
Huta atau kampung di daerah komunitas orang Batak Toba adalah persekutuan masyarakat yang paling kecil yang dibentuk oleh marga. Mulanya mereka tinggal di kampung induk tetapi karena penduduknya terus berkembang menyebabkan terbentuk huta-huta yang baru. Untuk mengatur kepentingan bersama beberapa kampung atau huta membentuk federasi atau persekutuan yang sifatnya masih terikat satu dengan lainnya. Kumpulan huta disebut horja.
Perserikatan horja ini lebih banyak mengurus hal yang berhubungan dengan duniawi. Sedangkan urusan yang berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan mala petaka yang melanda warga seperti wabah penyakit, air bah, kekeringan, masyarakat membentuk perserikatan yang meliputi kelompok-kelompok semua marga yang ada di wilayah bencana (gabungan dari horja) disebut bius. (Siahaan ; 2005: 153-158).
Pada masa lalu di Samosir pesta persembahan kurban (pesta bius) dilakukan untuk memohon kepada dewata supaya tidak terjadi musim kering berkepanjangan, tidak ada paceklik, tidak ada wabah penyakit. Pesta dilakukan berkala setiap tahun, namun setelah misi agama Kristen masuk dan berkembang di daerah ini upacara Horja Bius tidak dilakukan lagi. Pesta terakhir (pesta bius mangase taon) terakhir pada sekitar tahun 1938. (Siahaan, 2004: 165-166).
Tanggal 11 Juli 2006 di desa Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dilaksanakan pagelaran budaya "Pesta budaya Horja Bius Tomok II". Pagelaran ini menurupakan teater kolosal yang merupakan modifikasi upacara yang pernah dilakukan oleh para leluhurnya. Pada masa dahulu upacara Horja Bius Tomok bersifat sakral sebagai upacara persembahan kepada leluhur Ompung Raja Sidabutar yang telah mendirikan kampung Tomok.
Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion
Ritual Hahomion adalah upacara yang dilakukan oleh warga masyarakat di desa Tomok, Kecamatan Simanindo yang ditujukan untuk pemujaan kepada roh leluhur dan kekuatan gaib. Maksud diadakannya Ritual Hahomion untuk memberikan sesajen/persembahan kepada kekuatan gaib dan roh leluhur warga Tomok. Mereka percaya bahwa roh leluhur masih memiliki peran dalam kehidupan keturunannya. Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang senantiasa memantau kehidupan sosial kemasyarakatan. Persembahan ini dimaksudkan sebagai bukti nyata dari warga untuk pengakuan akan adanya kekuatan gaib yang mengiringi kehidupan mereka.
Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap memantau kehidupan warga dan memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar senantiasa memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup warga.
Penyelenggara Ritual Hahomion adalah warga desa Tomok pelaksananya dipilih melalui musyawarah kampung/desa. Menurut informasi yang diperoleh dari beberapa warga Tomok bahwa seseorang ditunjuk sesuai dengan keahlian dan kemampuan atau kecakapan yang dimiliki untuk melaksanakan tugas dan sekaligus sebagai penanggung jawabnya. Dalam musyawarah desa ditetapkan ketua/penanggung jawab secara keseluruhan Ritual Hahomion. Dipilih juga wakil ketua dan petugas yang akan menjadi penanggung jawab dari setiap kelompok/tahapan ritual.
Persiapan ritual dimulai dari pembicaraan antara pengetua adat/ kampung atau si empunya hajatan/yang akan mengadakan persembahan. Dulu ritual ini diutarakan oleh perorangan jika yang bersangkutan ingin menyampaikan keinginan atau permintaannya untuk kepentingan/hajatan pribadi/keluarga. Bila keinginan/hajatan untuk kepentingan bersama, maka dibicarakan secara musyawarah.
Persiapan yang diadakan untuk upacara hahomion adalah mengumpulkan perlengkapan sesajen yakni mulai mencari bahan-bahan yang ditentukan, mengolah atau memasak sampai siap disajikan pada satu hari sebelum ritual. Persiapan mengolah/memasak bahan sesajen dilakukan pada malam hari sebelum upacara puncak ritual. Persiapan kedua adalah menyiapkan tempat ritual baik di rumah bolon maupun di halaman rumah bolon, dan di kompleks pekuburan Ompung Raja Sidabutar. Di sekeling rumah bolon dihiasi daun kelapa muda atau janur dan meja empat segi panjang yang juga dihiasi dengan daun kelapa muda/janur. Di kompleks pekuburan Ompung Raja Sidabutar terdapat meja berbentuk segitiga yang dihiasi dengan daun kelapa muda atau janur merumbai ke bawah. Di kompleks kubur Ompung Sidabutar ini juga dihiasi dengan kain tiga warna, merah, putih dan hitam. Di sepanjang jalan antara rumah bolon dan pekuburan Ompung Sidabutar dihiasi daun kelapa muda/janur sebagai bendera/gaba-gaba.
Persiapan lainnya adalah mencari/mengumpulkan daun sirih pilihan yang dipergunakan sebagai persembahan dan kelengkapan bahan upacara. Daun sirih ini sebagian juga dimakan oleh inang-inang yang akan menjunjung makanan sesajen, datu, pemasak makanan dan pemimpin upacara sebelum acara dimulai. Perlengkapan upacara berupa bahan makanan yang dimasak, dedaunan sebagai pelengkap ritual Dedaunan yang diperlukan dalam upacara ini antara lain; daun kelapa muda, daun pisang dan daun sirih.
Perlengkapan bahan makanan meliputi dari hewan, ikan, tepung beras, buah-buahan diantaranya adalah:
1. Satu Ekor Kambing Putih (hambing putih) yangdimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing, bagian kepala, leher, dada/badan, pangkal paha bagian atas, paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang. Daging kambing ini dimasak dengan bumbu seperti cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam pinggan pasu/piring besar dari keramik.
2. Ayam Putih Jantan (Manuk Putih Jantan/manuk mira), dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki dan buntut dimasak dengan bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, sere, bawang merah, bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare disajiakan/disusun sesuai urutan ketika hewan hidup dalam pinggan pasu atau piring biasa/piring keramik putih ukuran sedang.
3. Ayam Jantan Merah Panggang (manuk mira narara pedar) dipotong sesuai potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada, tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha bawah, kaki, buntut, ayam dicuci dan dipanggang, darahnya dicampurkan ke bumbu dan dilumuri secara menyeluruh. Ayam ini yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini nantinya bila ritual selesai. Disajikan dalam pinggan pasu dengan posisi ayam duduk.
4. Ayam Jantan (manuk faru basi bolgang). Ayam ini utuh ditujukan kepada yang sakti, ayam dipotong dibelah/dikeluarkan bagian dalam perutnya, direbus/dikukus sampai matang, sebelum direbus diberi bumbu rendang tapi tak memakai santan.
5. Sagu-sagu. Bahan kue ini dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dibentuk menggumpal/membulat. Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang pemberi semangat.
6. Itak Nani Hopingan, kueh dari tepung beras dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah ditumbuk/dicetak bisa berbentuk bulat diletakkan di piring. Di atas itak nani hopingan diberi telur, bunga raya dan roddang (kembang jagung), pisang dan menge-mangeni pining (bunga pinang) Kueh ini dimaksudkan sebagai lambang minta doa restu.
7. Itak Gurgur atau Pohul-pohu. Bahan kue ini dari tepung beras, gula putih, kelapa digongseng setengah matang dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk, dengan menggunakan jari/genggaman.
8. Ihan Batak yakni ikan khusus dari danau toba yang dimasak utuh satu ekor dengan terlebih dahulu dibersihkan bagian perut dan diberi bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas, serre, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare, disajikan di atas nasi kuning yang diberi bumbu di sertakan dengan pisang, itak gurgur dan bahan lainnya.
9. Anggir pangurason yakniair yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar dan bahan lainnya, ditaruh dalam wadah berupa cawan putih.
10. Assimun pangalambohi adalah bahan yang terbuat dari timun dipotong panjang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
11. Tanduk horbo paung yang terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti pisang ambon/pisang Batak yang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
12. Hajut/kampil; sumpit putih diisi beras, uang pecahan (hepeng) nilai terbesar Rp.100.000,-, ditutup dengan daun sirih. Hajut ini sebagai perlambang kunci persembahan yang dibawa oleh Datu/dukun dan diletakkan di atas meja persembahan bersama bahan sajen lainnya.
13. Aek Naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril. Cara penyajiannya kelapa muda dilobangi bagian atasnya, di atas lobang tersebut diletakkan jeruk purut dan bunga raya merah.
14. Perlengkapan makan sirih yaitu daun sirih, gambir, kapur, cengkeh, buah pinang dan tembakau.
15. Perlengkapan pakaian untuk semua peserta upacara adalah memakai pakaian adat Batak Toba (ulos), bagi perempuan ulos diselempangkan atau diselendangkan sebagai pengganti baju, bagi laki-laki ulos disarungkan dan diselempangkan tanpa baju. Bagi orang tertentu memakai ikat kepala menunjukkan kedudukan dalam pranata sosial. Khusus Datu memakai pakaian baju berwarna hitam yaitu melambangkan bahwa datu tersebut seolah-olah bertindak sebagai perlambang kehadiran Debata Batara Guru (salah satu dari Debata Na Tolu) yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kebijakan, sementara pada kepala memakai ikat kepala berwarna merah yakni melambangkan Debata Bata Bulan yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kekuatan.
16. Perlengkapan lainnya adalah "Dupa" tempat membakar kemenyan, yakni wadah yang diisi abu, bara api, dan ditaburkan kemenyan sedikit demi sedikit. Aroma khas kemenyan dimaksudkan untuk mengundang kehadiran mahluk gaib/kekuatan gaib untuk hadir dan menyatu dalam ritual yang dilaksanakan.
17. Pergondangan yaitu menyiapkan satu gordang (gondang besar), 5 buah topong (gondang yang ukurannya lebih kecil) 1 buah kesik (hesek-hesek) dan 2 buah ogungdoal (Gong), ogung ihutan dan 1 ogung oloan panggor dan 1 buah sarune.
Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang mereka yang terdahulu dan disamping itu mereka hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk menarik wisatawan kedaerah tersebut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar